This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Jumat, 24 Maret 2017

Training Need Analysis (TNA)

Training Need Analysis

           
   Dalam dunia kerja tentunya kita sudah tidak asing lagi mendengar kata pelatihan dan pengembangan. Pelatihan adalah suatu kegiatan yang direncanakan perusahaan/institusi untuk memfasilitasi proses belajar karyawan untuk mencapai kompetensi dalam pekerjaannya (Noe, dalam Yuwono dkk, 2005). Sedangkan menurut Sikula (dalam Munandar, 2001) pelatihan (training) adalah proses pendidikan jangka pendek yang mempergunakan prosedur sistematis dan terorganisir, sehingga tenaga kerja non-manajerial mempelajari pengetahuan dan keterampilan teknis untuk tujuan tertentu. Sama halnya dengan perkembangan yang merupakan proses pendidikan jangka panjang yang mempergunakan prosedur sistematis dan terorganisir, sehingga tenaga kerja manajerial mempelajari pengetahuan konseptual dan teoritis untuk tujuan umum (Sikula, dalam Munandar, 2001). Selain itu, pengembangan meliputi elemen dari pelajaran yang direncanakan, pengalaman dan  didukung oleh fasilitas coaching dan konseling (Armstrong, dalam Yuwono dkk, 2005).

Pelatihan maupun pengembangan merupakan hal yang penting bagi perusahaan untuk meningkatkan soft skill dan hard skill karyawan guna untuk masa depan perusahaan. Hal ini tentunya memerlukan proses perencanaan program pelatihan atau pengembangan yang baik agar hasil yang dicapai maksimal. Adapun tahap-tahap proses pelatihan atau pengembangan yang harus dilakukan menurut Munandar (2001), yaitu :
1.      Identifikasi kebutuhan pelatihan atau job study
2.      Penetapan sasaran pelatihan/pengembangan
3.      Penetapan kriteria dengan alat-alat ukurnya
4.      Penetapan metode pelatihan/pengembangan
5.      Percobaan dan revisi
6.      Implementasi dan evaluasi

Tahap-tahap proses program pelatihan dan pengembangan menurut Edwin A. Locke (2009), yaitu :

1.      Training Need Analysis (TNA) 

       Training Need Analysis (TNA) adalah program kegiatan dalam menganalisa kebutuhan pelatihan, baik dilakukan untuk individu maupun kelompok (Munandar, 2001). Analisa kebutuhan pelatihan (Training Need Analysis) dapat menjadi fase yang paling penting pada desain pelatihan, karena keberhasilannya tergantung pada kolaborasi yang intensif antara partnership dan stakeholder. Biaya dari partnership ini adalah untuk memperjelas tujuan pelatihan, menerangi konteks organisasi, mendefinisikan kinerja yang efektif dan trainer-nya, dan menumbuhkan iklim belajar. Kegiatan penting yang dilakukan selama fase Training Need Analysis (TNA) menurut Edwin A. Locke (2009), yaitu :
a.       Conducting training due diligence (melakukan pelatihan  kerajinan yang tepat)
b.  Defining performance functions and processes (mendefinisikan fungsi kinerja serta prosesnya)
c.       Defining affective and cognitive states (mendefinisikan afektif dan bagian-bagian kognitif)
d.      Defining an attribute model (mendefinisikan model atribut)
e.       Delineating learning objectives (menggambarkan tujuan  pembelajaran)

2.      Develop Training Content (mengembangkan konten pelatihan)

Tahap merancang solusi pelatihan yang melibatkan serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mendukung pengembangan konten (isi) pelatihan. Yang termasuk kedalam tahap ini yaitu :
(a)      Designing a learning architecture (merancang kerangka pembelajaran)
(b)      Creating instructional experiences (menciptakan pengalaman pembelajaran)
(c)      Developing assessment tools (mengembangkan alat penilaian)

3.      Implement Training (mengaplikasikan program pelatihan)

Tahap ini merupakan tahap penting karen implementasi adalah kunci dalam proses pelatihan. Tahap ini terikat erat dengan sistem organisasi di mana pelatihan dilakukan. Lebih khusus lagi, ada tiga kegiatan utama yang terkait dengan pelaksanaan pelatihan, yaitu :
a.       Setting the stage for learning (menetapkan lokasi untuk belajar)
b.      Delivering a blended learning solution (memberikan solusi paduan pembelajaran)
c.       Supporting transfer and maintenance (mendukung pengalihan dan pemeliharaan)

4.      Evaluating Training (evaluasi Pelatihan)

Tahap terakhir dalam merancang pelatihan yang sistematis dan melibatkan evaluasi apakah pelatihan itu efektif dan yang lebih penting mengapa hal itu efektif atau tidak efektif sehingga perbaikan diperlukan sebuah perbaikan. Sayangnya, banyak organisasi tidak mengevaluasi efektivitas pelatihan karena evaluasi membutuhkan dana yang besar. Hal ini juga membutuhkan keahlian khusus dan orang-orang yang dapat mengumpulkan dan menafsirkan data dari kinerja karyawan. Oleh karena itu, sangat penting bagi sebuah organisasi untuk menilai efektivitas pelatihan dan menggunakan informasi yang dikumpulkan sebagai sarana untuk memperbaiki desain pelatihan guna kebutuhan dimasa yang akan datang.


Referensi

Ino Yuwono, Fendy Suhariadi, Seger Handoyo, Fajrianthi, Budi Setiawan Muhamad, Berlian Gressy Septarini, 2005. Psikologi Industri & Organisasi.  Surabaya: Fakultas Psikologi Universitas Airlangga.

Locke, E. (Ed.). (2009). Handbook of principles of organizational behavior: Indispensable knowledge for evidence-based management. John Wiley & Sons.

Munandar, A.S. 2001. Psikologi Industri dan Organisasi. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI Press)


Jumat, 17 Maret 2017

Training and Development

Training and Development

        

     Kata pelatihan adalah hal yang telah umum kita dengar dan perbincangkan di dalam konteks pendidikan maupun dunia pekerjaan. Kata pelatihan, pendidikan dan pengembangan merupakan hal yang tidak asing dan seolah-olah telah kita pahami maknanya secara tepat oleh semua orang. Oleh karena itulah saya akan membahas tentang pelatihan, pendidikan dan pengembangan guna menambah khasanah ilmu pengetahuan.

1.      Pelatihan, pendidikan dan pengembangan

Dalam dunia kerja, pelatihan adalah suatu kegiatan yang direncanakan perusahaan/institusi untuk memfasilitasi proses belajar karyawan untuk mencapai kompetensi dalam pekerjaannya (Noe, dalam Yuwono dkk, 2005). Menurut Sikula (dalam Munandar, 2001) pelatihan (training) adalah proses pendidikan jangka pendek yang mempergunakan prosedur sistematis dan terorganisir, sehingga tenaga kerja non-manajerial mempelajari pengetahuan dan keterampilan teknis untuk tujuan tertentu. Adapun tujuan diadakannya pelatihan yaitu agar karyawan menguasai pengetahuan, keterampilan dan perilaku yang dilatihkan dalam program pelatihan sehingga dapat diaplikasikan dalam kegiatan mereka sehari–hari. Sesungguhnya pelatihan, pendidikan dan pengembangan merupakan suatu hal yang tumpang tindih dimana batas antara ketiganya sulit untuk dibedakan dan memiliki tujuan untuk mengubah perilaku kearah yang lebih sesuai dengan kondisi dan situasi dimana seseorang bekerja.

Pendidikan adalah aktivitas yang bertujuan untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan, nilai-nilai moral dan pemahaman yang dibutuhkan dalam aspek kehidupan. Tujuan pendidikan adalah memberi kondisi yang penting bagi peserta didik untuk mengembangkan suatu pengertian tradisi, nilai-nilai moral dan budaya, pengetahuan dan ide-ide yang mempengaruhi masyarakat dalam kehidupan bersama. Menurut Armstrong (dalam Yuwono dkk, 2005) pendidikan bersifat generalis  meliputi pelajaran budaya, hukum, linguistik dan pengetahuan lain sebagai dasar  untuk belajar berkesinambungan, pengembangan individu, kreativitas dan komunikasi (Armstrong, 1992).

Dari definisi di atas sudah jelas perbedaan antara pendidikan dan pelatihan. Beebe, Mottet & Roach (dalam Yuwono dkk, 2005) mengemukakan perbedaan diantara keduanya, seperti waktu (training dalam jangka waktu singkat, sedangkan pendidikan lebih lama), bidang kajian (training spesifik, pendidikan lebih luas), dan tujuan (training untuk meningkatkan kinerja/skill tertentu yang langsung diterapkan dalam pekerjaan, sedangkan pendidikan lebih umum dan menyeluruh). Training lebih menekankan learning by doing dan penguasaan secara parsial, sedangkan pendidikan lebih berupa penanaman konsep, penambahan pengetahuan secara keseluruhan.  Agar lebih mudah dalam memahami perbedaan antara pelatihan dan pendidikan, perhatikan tabel berikut ini menurut Beebe, Mottet & Roach (dalam Yuwono, 2005).


Sebenarnya batas antara pelatihan dan pengembangan tidak jelas. Ada yang menggunakan pelatihan khusus untuk tenaga kerja nonmanajerial sedangkan untuk pengembangan untuk tenaga kerja manajerial. Tetapi menurut Sikula (dalam Munandar, 2001) pengembangan (development) merupakan proses pendidikan jangka panjang yang mempergunakan prosedur sistematis dan terorganisir, sehingga tenaga kerja manajerial mempelajari pengetahuan konseptual dan teoritis untuk tujuan umum. Selain itu, pengembangan meliputi elemen dari pelajaran yang direncanakan, pengalaman dan  didukung oleh fasilitas coaching dan konseling (Armstrong, dalam Yuwono dkk, 2005). Adapun tujuan dilakukannya pengembangan yaitu agar organisasi mampu merealisasi visi mereka dan mencapai tujuan tujuan jangka menengah dan jangka pendek serta bagi karyawan untuk meningkatkan kompetensi dan kinerja mereka dalam pekerjaan sekarang dan menyiapkan diri untuk peran dan tanggung jawab yang akan dating. Agara lebih jelas membedakan antara pelatihan dan pengembangan menurut Noe (dalam Yuwono dkk, 2005), perhatikan tabel berikut ini.


2.     
Training Need Analysis (TNA)

Training Need Analysis (TNA) adalah Adalah program kegiatan dalam menganalisa kebutuhan pelatihan, baik dilakukan untuk individu maupun kelompok (Munandar, 2001). Kegiatan ini mencari data tentang pengetahuan, skills dan sikap yang diperlukan oleh seorang pekerja dalam menjalankan pekerjaan. Adapun cara penyusunan program pelatihan atau pengembangan menurut Munandar (2001) terdiri atas bermacam-macam tahap, yaitu :

Tahap 1

Identifikasi kebutuhan (TNA) dan studi pekerjaan (job study)
Tahap 2

Penetapan sasaran pelatihan atau pengembangan
Tahap 3

Penetapan kriteria keberhasilan dengan alat-alat ukurnya
Tahap 4

Penetapan metode pelatihan atau pengembangan
Tahap 5

Pencobaan dan revisi
Tahap 6

Implementasi dan evaluasi

Sama halnya dengan cara penyusunan program pelatihan atau pengembangan menurut Munandar (2001). Yuwono, dkk (2015) juga mengungkapkan cara penyusunan program pelatihan atau pengembangan dalam 7 tahap, yaitu :
1.      Tahap 1     : Menganalisa kebutuhan pelatihan
2.      Tahap 2     : Menentukan tujuan pelatihan
3.      Tahap 3     : Memastikan kesiapan peserta mengikuti pelatihan
4.      Tahap 4     : Menciptakan suatu lingkungan belajar
5.      Tahap 5     : Mengorganisasikan materi pelatihan
6.      Tahap 6     : Memilih metode pelatihan
7.      Tahap 7     : Mengevaluasi program pelatihan

Para ahli pelatihan mneyarankan agar terpenuhinya setiap  tahap sebelum tahap yang berikutnya dimulai. Walaupun demikian, tetap ada kemungkinan bahwa ada beberapa langkah yang dapat dilakukan secara bersamaan.

3.      Keefektifan Program Pelatihan dan Pengembangan

Kraiger, Ford & Salas (dalam Munandar, 2001) membedakan anatara penilaian program pelatihan dan efektivitas program pelatihan. Penilaian pelatihan mengacu pada suatau sistem untuk mengukur apakah para trainee mencapai sasaran pembelajaran, sedangkan efektivitas pelatihan berkaitan dengan tercapai tidaknya  sasaran yang telah direncanakan yang mencakup pembelajaran dan pengalihan pelatihan (kemampuan mengalihkan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang dipelajari selama program pelatihan kedalam pelaksanaan pekerjaan sehari-hari).

Setiap program pelatihan atau pengembangan yang dilaksanakan memerlukan sebuah evaluasi sebagai tolak ukur keberhasilan dan tingkat keefektifan program tersebut. Rothwell mengutip model Kirikpatrick (dalam Munandar, 2001) mengatakan bahwa terdapat empat tingkat dari penilaian program pelatihan atau pengembangan, yaitu :
1.      Reaksi  dari peserta pelatihan (apakah peserta menyenangi program pelatihan yang merupakan hasil dari evaluasi peserta).
2.      Hasil pembelajaran peserta pelatihan (apakah peserta memahami pengetahuan dan ketrampilan yang diajarkan oleh trainer yang merupakan  hasil  pre test dan post test).
3.      Perubahan perilaku peserta pada pekerjaan (seberapa banyak perubahan perilaku peserta di pekerjaan yang merupakan hasil evaluasi setelah di pekerjaan)
4.      Hasil  untuk organisasi  (sejauh mana pelatihan atau pengembangan mempengaruhi organisasi dan seberapa banyak pendapatan yang diperoleh perusahaan setelah diadakan pelatihan)

Referensi

Ino Yuwono, Fendy Suhariadi, Seger Handoyo, Fajrianthi, Budi Setiawan Muhamad, Berlian Gressy Septarini, 2005. Psikologi Industri & Organisasi.  Surabaya: Fakultas Psikologi Universitas Airlangga.

Munandar, A.S. 2001. Psikologi Industri dan Organisasi. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI Press)







Kamis, 09 Maret 2017

Dinamika Kelompok dan Team Building dalam Industri Organisasi

Dinamika Kelompok dan Team Building


1. Interaksi dalam Kelompok Kerja
   
   Organisasi industri terdiri dari sejumlah kelompok kerja yang saling berkaitan dalam suatu tata tingkat tertentu. Setiap kelompok kerja terdiri dari sejumlah tenaga kerja yang saling mempengaruhi dan saling tergantung. Namun derajat pengaruh dan ketergantungan antar tenaga kerja tidaklah selalu sama yang merupakan hubungan ketergantungan yang seimbang dan tidak seimbang. Dalam organisasi industri dapat dijumpai kelompok kerja dengan derajat intensitas interaksi antar anggota kelompok yang berbeda. Menurut Fiedler (1967, dalam Munandar, 2001), memberikan tipologi kelompok berdasarkan sifat dan intensitas interaksi, yaitu :
a.       Kelompok Interaksi (interacting groups)
Kelompok ini memiliki anggota yang saling tergantung serta aksi atau tindakannya perlu dikerjakan dan disusun bersama untuk dapat menyelesaikan tugas kelompok dengan baik. Kelompok ini memerlukan kooperasi dan koordinasi dari kegiatan para anggotanya dalam pelaksanaan tugas kelompok agar tercapai sasaran kelompok.
b.      Kelompok Koaksi (co-acting groups)
Anggota kelompok ini bekerjasama melaksanakan tugas kelompok dan dalam melaksanakan pekerjaan relatif mandiri atau tidak saling tergantung.
c.       Kelompok Konteraksi (counteracting groups)
Anggota kelompok ini bekerjasama untuk tujuan perundingan dan memufakatkan sasaran serta tuntutan bertentangan. Unjuk kerja (performance) kelompok ini diukur berdasarkan penerimaan jawaban atau penyelesaian para anggota kelompok.

1.1 Gejala dalam Proses Kelompok

    Penjelasan mengenai gejala yang timbul dalam proses kelompok dan proses interaksi antar anggota kelompok, yaitu : (a) Fungsi sebagai penimbul gagasan baru dan penyelesaian kreatif, (b) Mekanisme pemecahan masalah, dan (c) Pelancar pelaksanaan keputusan majemuk. Ketiga hal tersebut menjadi dasar pandangan Leavitt (1988, dalam Munandar, 2001) yang memberikan penjelasan tentang proses manajemen dapat dibagi menjadi tiga tahap, yaitu :
a.       Tahap pemanduan (Pathfinding)
Pemanduan atau penemukenalan tujuan dengan penciptaan masalah-masalah yang menarik. Tahap ini berkaitan dengan visi dan nilai – nilai serta pemantapan pribadi berdasarkan data perusahaan dan lingkungan mengenai keyakinan yang benar, baik dan indah.
b.      Tahap Pemecahan Masalah
Pemecahan masalah dilakukan oleh kelompok kerja. Dalam pekerjaan masalah harus ditemukan dan diseleksi untuk diselesaikan sendiri atau kelompok. Tahap ini dapat dilakukan melalui tiga langkah, yaitu : 1. Data masalah tidak lengkap, 2. Pemecahan  berdasarkan informasi terbatas untuk penyelesaiannya, 3. Sesuai dead line.
c.       Tahap Pelaksanaan (Implementing)
Tahap ini mencakup kegiatan membentuk, menyusun, menjual dan membuat sesuatu terjadi. 

Fungsi kelompok ikut menentukan kelancaran berlangsungnya proses kelompok disamping ciri-ciri kepribadian para anggota kelompoknya. Dalam proses kelompok yang antaranggota kelompok kerja saling berinteraksi dan kelompok melaksanakan fungsinya dapat menimbulkan gejala-gejala sebagai berikut :
a.       Konformisme
Anggota kelompok berusaha untuk berperilaku sesuai norma dan tidak berbeda dengan anggota lain tanpa disadari sesuai pola perilaku tertentu dalam jangka waktu yang panjang.
b.      Kelekatan (cohesiveness)
Tinggi rendahnya kesepakatan anggota terhadap sasaran kelompok serta derajat saling menerima anggota kelompok lainnya.
c.       Sinergi
Keputusan yang diambil oleh kelompok lebih baik daripada keputusan yang diambil oleh anggota kelompok sendiri.
d.      Groupthink
Satu gejala yang merupakan kelemahan dari kelompok yang terlalu lekat yang mengakibatkan kecakapan pengambilan keputusan mendadak berkurang.
e.       Polarisasi Kelompok (Group Polarization)
Penggeseran keputusan menuju kearah yang ekstrim dengan resiko keputusan yang sangat tinggi resikonya atau keputusan yang sangat rendah derajat resikonya.

2. Interaksi Antar Kelompok

    Perbedaan tugas, fungsi dan kepentingan dalam kelompok kerja, maka akan menimbulkan konflik antar kelompok yang merupakan sesuatu yang wajar untuk timbul sehingga memerlukan pengelolaan dan pemanfaatan seluruh organisasi. Adapun dampak yang ditimbulkan akibat dua kelompok yang bersaing, yaitu :
a.       Saingan atau Konflik Antar Kelompok
Setiap kelompok lebih menutup diri dan membangkitkan loyalitas yang lebih besar serta anggota makin akrab dan melupakan pertentangan  antar mereka.
b.      Hal yang Terjadi Antara Kelompok yang Bersaing
Setiap kelompok mengalami gangguan dalam persepsi, kelompok cenderung melihat hal baik dan mengingkari kelemahan kelompok sendiri serta melihat hal buruk dan mengingkari kekuatan kelompok lain.
c.       Hal yang Terjadi dengan Kelompok yang Menang
Pemenang cenderung ke kerjasama anggota dan perhatian terhadap kebutuhan anggotanya tinggi serta berkurangnya perhatian kepada pelaksanaan tugas dan kerja.
d.      Hal yang Terjadi dengan Kelompok yang Kalah
Kelompok akan cenderung mengarah kepada kerjasama anggota yang rendah, perhatian terhadap kebutuhan anggotanya kecil, perhatian tinggi untuk memperbaiki diri, serta  membalas kekalahan dengan bekerja keras agar pada kesempatan lain menang.

2.1 Teknik-teknik Mengurangi Akibat Negatif dari Saingan
     
     Strategi dasar dari pengurangan konflik yaitu untuk menemukan tujuan bersama dan melancarkan proses komunikasi antar kelompok. Schein (1980, dalam Munandar, 2001) mengemukakan teknik-teknik untuk mengatasi konflik yang antar teknik tersebut dapat digunakan sendiri atau kombinasi antar teknik secara bersama-sama. Berikut teknik yang dikemukakan oleh Schein (1980, dalam Munandar, 2001) :
a.       Menemukn Musuh Bersama
b.      Pimpinan atau Subkelompok dari Kelompok-kelompok yang Bersaing dibawa Berinteraksi
c.       Menentukan Tujuan yang Mencakup (Superordinate)
d.  Pelatihan Antar Kelompok melalui Penghayatatan-penghayatan (Experiental Inter Group Training)

2.2 Dimensi Intensi Menyelesaikan Konflik
   
   Intensi menyelesaikan konflik dapat dikelompokkan kedalam lima cara yang diperoleh berdasarkan dua dimensi (Robbins, 1998 dari Thomas, 1992), yaitu sebagi berikut:
a.  Bersaing (Competing) : Hasrat untuk memuaskan kepentingan sendiri tanpa memperhatikan dampak terhadap pihak lawan konflik (assetiveness tinggi, cooperativeness rendah). Situasi ini dinamakan menang-kalah (win – lose).   
b.  Bekerjasama (Collaborating) : Masing-masing pihak yang berkonflik memilki hasrat untuk memuaskan kepentingan pihaknya (assertiveness dan cooperativeness  tinggi). Situasi ini dinamakan menang-menang (win – win).
c.  Berkompromi (Compromising) : Masing - masing pihak yang berkonflik bersedia untuk mengorbankan sesuatu (assetiveness dan cooperativeness sedang tingginya). Situasi ini dinamakan kalah-kalah (lose – lose).
d.   Menghindar (Avoiding) : Hasrat untuk mengundurkan diri dari situasi konflik dan tidak mau bersengketa atau berkonflik (assertiveness dan cooperativeness rendah).
e.       Menyesuaikan (Accomodating) : Salah satu pihak yang berkonflik meletakkan kepentingan pihak lain lebih tinggi dari kepentingannya (assertiveness rendah, cooperativeness tinggi). Situasi ini dinamakan mengalah atau memenangkan pihak lawan.

2.3 Teknik Penyelesaian Konflik

    Teknik penyelesaian masalah yang dikemukakan oleh Robbins (1998) menitikberatkan pada teknik penyelesaian masalah yang menggambarkan situasi menang-menang (win - win) dan tidak ada pihak dalam persaingan yang menang. Selain teknik-teknik penyelesaian konflik diatas, Robbins (1998) mengemukakan kembali teknik penyelesaian konflik yang lebih bersifat situasi menang-menang (win - win).
a.       Teknik Problem Solving
b.      Teknik Pengadaan Sumber yang Lebih Banyak
c.       Teknik Pelunakan (Smoothing)
d.      Teknik Perintah Otoritatif
e.       Teknik Mengubah Variabel Manusia
f.       Teknik Mengubah Variabel Struktural

2.4 Membangun Tim yang Efektif (Effective Team Building)

   Adapun aturan-aturan dalam membangun tim yang efektif (effective team building), sebagai berikut :
a.        Para anggota sebaiknya menganggap partisipasi itu penting dan bermanfaat secara pribadi.
b.    Kelompok seharusnya mencakup sejumlah orang yang akan bertanggung jawab melaksanakan keputusan - keputusannya.
c.    Para anggota sebaiknya memiliki pengetahuan dan informasi yang relevan dengan keputusan yang akan diambil.
d.      Para anggota sebaiknya memiliki kekuasaan yang memadai untuk melaksanakan tanggung jawab departemennya masing-masing.
e.   Keputusan kelompok besar sebaiknya diintegrasikan dengan keputusan kelompok-kelompok kecil.
f.       Pengaruh anggota terhadap pengambilan keputusan sebaiknya didasarkan atas keahlian.
g.      Pertentangan seharusnya dipertemukan dan diselesaikan dengan pendekatan pemecahan masalah.
h.      Para anggota sebaiknya memiliki kecakapan hubungan antar pribadi yang memadai.


Referensi

Munandar, A.S. 2001. Psikologi Industri dan Organisasi. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI Press).

Stephen P. Robbins. 2003. Essential of Organization Behavior, 7 th Edition (Upper Saddle River, New Jersey: Prentice Hall).